Resensi Buku: The Historian

The Historian: Sang Sejarahwan


Penulis: Elizabeth Kostova

Penerjemah: Andang H. Soetopo

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: Jakarta, Januari 2007

Halaman: 768


Tentang anak perempuan yang menemukan surat-surat aneh di perpustakaan ayahnya. Karena tahu anaknya terlanjur melihat surat tersebut, sang ayah pun berkisah tentang dirinya yang menemukan buku aneh dengan sampul kulit berwarna pucat bertulis Drakulya. 


Penemuan buku aneh itu berlanjut menjadi sebuah petualangan juga obsesi berkenaan dengan sosok legenda, Vlad Dracul. 



Cerita sang ayah begitu panjang. Perjalanan menemukan sosok penuh misteri itu melibatkan banyak orang. Bahkan, sang putri pun ikut terseret dalam pencarian tersebut.


Surat demi surat, dokumen demi dokumen, melintasi laut dan negara, pencarian tentang sosok yang melegenda itu berubah menjadi sebuah petualangan yang mengancam nyawa. Akankah sang narator dan ayahnya berhasil menemukan apa yang mereka cari?


My Review


Kesan saya  tentang buku ini mungkin akan panjang. Sepanjang cerita itu sendiri. Marilah kita buka dengan awal mula saya menemukan novel The Historian.


Jika melihat tahun terbitnya, judul asli diterbitkan tahun 2005 di New York, USA. Sementara versi terjemahan pada tahun 2007, tentu saja ini termasuk buku yang sudah lama terbit. Pada tahun segitu, saya tidak mendengar tentang buku ini sama sekali.


Saya menemukan buku ini pertama kali tahun 2019, tidak sengaja lihat di salah satu toko buku di Pasar Kenari. Saat itu, saya tidak tahu sama sekali tentang novel ini, hanya tertarik karena judulnya.


Beberapa tahun kemudian, saya kembali teringat dengan novel ini dan mencari tahu tentang ceritanya. Saya coba baca sampel bukunya di Google Play Book (versi Bahasa Inggris) dan karena menarik, saya cari buku fisiknya di toko buku online. 


Alhamdulillah, ketemu buku bekasnya, edisi hardcover dengan harga yang menurut saya masih terjangkau, 60 ribu rupiah. Akhirnya saya membeli buku tersebut. Setelah tiba, saya nggak menyangka kalau ternyata bukunya setebal itu.



Saya baca buku ini tahun 2023, tidak lama setelah saya melahirkan anak kedua. Meskipun buku ini tebal, tapi bagi saya ceritanya menarik sehingga saya bisa terus membaca sampai tamat.


Namun, setelah menuliskan review di Goodreads, barulah saya menemukan komentar beraneka macam dari pengguna Goodreads. Kalau melihat dari komentar yang disebarkan di Goodreads, pembaca buku The Historian ini terbagi menjadi dua kubu. Kubu yang sangat menyukai buku ini dan kubu yang menganggap buku ini 'meh' alias cuma kasih bintang satu atau dua.


Supaya adil, saya akan menjabarkan plus-minus buku ini menurut pendapat saya pribadi.


Kekurangan buku ini:


1. Terdapat banyak sekali narator di dalam cerita.


Narator utama memang anak perempuan Paul, yang tidak disebutkan namanya sampai ending. Namun, tokoh-tokoh lain pun ikut menceritakan sudut pandangnya dengan kata ganti 'aku'. Sehingga, sebagai pembaca, kita disuguhi berbagai macam 'ceritaku' dari tiap tokoh. 


Mulai dari cerita Paul (ayah sang narator), Prof Rossi (pembimbing akademis Paul), Helen (teman seperjuangan Paul), Ibunya Helen, dan masih banyak lagi.


Pokoknya, hampir setiap tokoh kebagian cerita. Dan meskipun naratornya beda-beda, rasa bahasanya hampir sama. Seolah-olah tak ada beda gaya cerita gadis 17 tahun dengan pria dewasa yg berprofesi sebagai profesor. Oleh karena itu, tiap kali membaca, kita harus benar-benar mengingat siapa yang saat ini sedang bercerita.


2. Alur cerita banyak dijelaskan melalui bentuk surat, yang biasanya kita kenal dengan istilah epistolary, atau kisah yang diceritakan dalam bentuk surat.


Dalam kisah The Historian, tidak semua diceritakan dalam bentuk surat, ada juga cerita yang berbentuk kejadian langsung. Akan tetapi, cerita yang disampaikan dalam bentuk surat hampir mendominasi. 


Sebenarnya, hal ini bukan sebuah kekuarangan andai saja panjang suratnya masih masuk akal. Apalagi surat-suratnya ditulis dengan tulisan tangan. Rasanya aneh membaca surat yang panjangnya (bila dalam kertas) mungkin bisa berlembar-lembar halaman. Dan bukan itu saja, tingkat detailnya pun luar biasa bahkan sampai ke kalimat pembicaraannya. 


Rasanya malah seperti membaca satu bab dalam novel (yang memang aslinya begitu). Tapi kan, ceritanya ini kita sebagai pembaca lagi baca surat, bukan? Jadi, ya gitu deh.


3. Terlalu banyak kebetulan.


Kebetulan ketemu Helen, kebetulan ketemu Prof. Turgut Bora, kebetulan ketemu Selim Aksoy, kebetulan ketemu Hugh James. Dan masih banyak lagi kebetulan yang memudahkan proses pencarian Paul & Helen menemukan Prof. Rossi dan Drakulya. 


Kebetulan-kebetulan ini memang mendukung jalan cerita. Dan saya tahu, ini cerita fiksi, jadi apa pun bisa terjadi. Tapi, kan, bahkan dalam cerita fiksi pun, jika terlalu banyak kebetulan, rasanya malah jadi tidak masuk akal.


Ingat kata Eyang SDD, di dunia nyata, hal tidak masuk akal boleh terjadi. Di dunia fiksi, semuanya harus masuk akal.


4. SPOILER!


Jangan lanjut baca bagian ini kalau nggak mau kena spoiler. Tapi saya merasa harus menyatakannya karena bagian inilah yang mungkin menurut kubu 'meh' paling plot hole.


Yaitu, kenyataan kalau selama ini Drakulya masih hidup untuk mengumpulkan buku-buku dan orang-orang yang 'ditangkap' Drakulya cuma disuruh bikin katalog. 


Maksudnya, please deh, ini Drakulya, sosok legenda yang ditakuti banyak orang. Punya kekuatan yang bisa menjadikan manusia-manusia normal sebagai zombie seperti dirinya. Seharusnya dengan kekuatan sebesar itu, dia tinggal menguasai dunia lewat gigitannya, kan? 


Tapi enggak, dia malah 'menjebak' sejarahwan/cendekiawan untuk menyusun katalog buku-buku yang berpengaruh. Buat apa? Katanya sih untuk menyusun rencana menguasai dunia. Aneh banget nggak sih?


Jujur, saya masih nggak habis pikir sama pemikiran Drakulya yang agak nerd ini. Yang jelas, tindakan Drakulya di buku ini mengingatkan saya akan sosok Dracula di novel Bram Stoker yang meminta Jonathan Harker untuk mengurus surat-surat tanah dan hukum.


5. Katanya sih, masih katanya ini ya. Banyak penjelasan-penjelasan sejarah yang nggak sesuai di buku ini.


Karena saya tidak terlalu banyak tahu tentang ini, saya belum bisa memastikan pendapat tersebut. Komentar ini saya temukan dalam beberapa review orang-orang di Goodreads yang belum tentu benar, tapi belum pasti salah juga. Jadi, harus dicek dulu.


Dari sekian banyak kekurangan, adakah kelebihannya? Tentu saja ada, karena saya termasuk kubu yang menyukai novel ini.




Kelebihan buku ini:


Hal yang saya sukai dari novel The Historian karya Elizabeth Kostova dan bikin saya betah berlama-lama membaca buku tebal ini adalah nuansa akademisnya yang sangat kental.


Sepanjang membaca novel ini rasanya bikin saya ingin kuliah lagi dan ambil jurusan Sejarah. Selain itu, deskripsi tempat-tempat yang dikunjungi oleh narator, oleh Paul, oleh Rossi, dan siapa pun tokohnya, mampu membuat saya membayangkan tempat-tempat yang indah dan mempesona dan berharap bisa menginjakkan kaki di tempat-tempat itu.


Dari segi penerjemahan, hasil. terjemahnya ini enak banget dibaca ya. Applause buat sang alih bahasa. Saya nggak yakin kalau saya baca versi bahasa aslinya apakah bisa selesai baca cerita sepanjang ini.


Jadi, kesimpulan saya, cerita ini hanya cocok bagi orang yang sabar, nggak terlalu banyak mikir, dan senang dengan cerita dengan nuansa akademis yang cukup kental. 


Mengabaikan bentuk surat-surat yang panjang, informasi tentang sejarah yang entah benar-entah tidak, kebetulan yang sering terjadi, dan pov narator yang berganti-ganti, setiap kisah di dalam cerita ini sebenarnya menarik. Bagian yang paling saya suka adalah surat dari ibunya Helen.


Kalau kamu merasa punya banyak waktu luang, mungkin buku ini bisa menjadi salah satu alternatif bacaan kamu. Tapi, kalau kamu nggak sabaran dan berharap menemukan cerita yang benar-benar dahsyat, mungkin kamu lebih cocok baca cerita yang lain.


Ini menurut pendapat saya saja, lho. Baiknya memang dipastikan sendiri. Selamat membaca ;)





Komentar