Assalamualaikum, apa kabar? Hari Sabtu lalu (2/11) saya
berkesempatan untuk berkunjung ke Pasar Kenari, Jakarta dan melihat
Jakbookfest.
Apa itu Jakbookfest? Awalnya, saya juga nggak tahu
Jakbookfest itu apa. Tiba-tiba muncul iklan di Instagram saya yang menampilkan
acara Jakbookfest yang diadakan di Pasar Kenari. Kebetulan, sebelumnya saya
pernah mendengar tentang kios-kios buku di lantai ketiga Pasar Kenari.
Karena penasaran dan ingin tahu Pasar Kenari seperti apa,
saya pun pergi ke sana bersama suami. Dari Depok kami menaiki kereta dan turun
di Stasiun Cikini. Sebelum pergi, saya sempat mengecek kalau Pasar Kenari
terletak tidak jauh dari Stasiun Cikini. Bahkan, bisa ditempuh dengan jalan
kaki.
Jadi, kami berdua memutuskan jalan kaki dari Stasiun Cikini
sampai Pasar Kenari dengan mengandalkan Gmaps. Keluar Stasiun Cikini, kami
masuk ke Pasar Kembang lalu masuk ke gang-gang kecil, sempat melewati pasar
kecil juga di dalam gang tersebut, lalu keluar ke jalan cukup besar yang ada
Museum Thamrin dan Universitas Gunadarma. Setelah itu, keluar dari jalan
tersebut dan belok ke arah kanan. Di situlah Pasar Kenari.
Oiya, ke Pasar Kenari bisa juga naik angkot atau ojek,
tetapi saya nggak tahu jalurnya, hehehe.
Sampai di depan Pasar Kenari, sekilas pandang tidak tampak
seperti pasar yang menjual buku-buku. Yang ditangkap mata adalah kios-kios yang
menjual barang material (atau apalah itu kabel-kabelan segala macam yang saya
nggak ngerti, hehehe). Jika tidak ada tulisan Pasar Kenari di bagian depan dan
jendela kaca paling atas ditempeli stiker buku-buku, mungkin saya ragu apakah sudah
berada di tempat yang tepat.
Kami pun masuk ke Pasar Kenari dan karena ketidaktahuan kami
akan keberadaan eskalator, kami naik ke lantai tiga dengan tangga. Fiuuh!
Setelah berjalan dari Stasiun Cikini lebih dari lima belas menit, lalu naik
tangga ke lantai tiga!
Ketika sampai di lantai tiga, baru kami merasa yakin berada
di tempat yang benar. Berbeda dengan lantai satu dan dua, lantai tiga udaranya
cukup sejuk karena menggunakan AC. Tampak beberapa kios buku dan sebuah kafe.
Setelah bertanya kepada salah satu penjual di sana, kami pun datang ke tempat
Jakbookfest digelar.
Yah, bisa dibilang Jakbookfest ini seperti obralan buku
murah yang sering diadakan Gramedia di basement atau pojok mall begitu. Tempat
pamerannya tidak begitu luas dan koleksi buku yang dijual juga masih kategori wajar
alias nggak banyak-banyak banget.
Tumpukan buku dibagi berdasarkan harga dan diskon. Ada dikon
5%. 25%, dan lain-lain (saya lupa lebih tepatnya). Untuk buku murah, ada meja
khusus buku lima ribuan dan best price. Best price ini harganya bervariasi,
tetapi cukup murah untuk harga asli dan kemungkinan diskonnya di atas 25%.
Selain buku-buku, ada pertunjukan alat musik daerah juga
yang membawakan lagu-lagu kekinian. Cukup menghibur.
Sayangnya, suasana di Jakbokfest remang-remang alias kurang
pencahayaan. Saya yang matanya tidak minus saja merasa agak siwer melihat
judul-judul buku karena penerangan yang terbatas itu. Padahal, sepertinya sih
dinyalakan lampu (atau tidak, ya? Saya lupa) dan ada sinar matahari juga dari
luar (karena saya datang siang hari), tetapi tetap saja di area Jakbookfest
terasa lebih gelap. Berbeda dengan kios-kios buku yang saya kunjungi
belakangan.
Oiya, setelah melihat langsung, saya baru tahu kalau Jakbook
adalah salah satu toko buku di Pasar Kenari lantai tiga. Tidak jauh dari area
Jakbookfest, ada toko Jakbook. Bentuknya ya tidak jauh seperti toko-toko buku
pada umumnya. Cukup luas dengan rak-rak buku sesuai dengan genre atau kategori
barang yang dijual. Selain buku, ada alat tulis, perlengkapan sekolah, dll.
Saya sempat melihat-lihat koleksi buku yang dijual di
Jakbook. Ada beberapa buku lama yang mungkin sudah tidak beredar di toko buku
seperti Gramedia. Sayangnya, harga bukunya masih mahal, hehehe. Ada juga
beberapa buku yang kondisinya cukup mengenaskan, tetapi masih mengenakan
barcode dengan harga asli.
Saya berharap, pengurus Jakbook memeriksa kembali buku-buku
yang dijual, yang kondisinya sudah tidak terlalu bagus (sudah agak lecek,
terlepas sampul plastiknya, dll.) bisa dijual dengan harga yang lebih murah.
Begitu pun dengan buku-buku lama, mungkin bisa dikasih diskon sedikit (diskon
10-15%) supaya lebih menarik minat pembeli.
Jika saya masih kuliah, mungkin saya akan senang sekali
berlama-lama di toko buku tersebut, menelusuri satu demi satu buku, baik buku
fiksi maupun nonfiksi. Namun, sekarang saya harus ekstra hati-hati karena
setiap pengeluaran sudah ada budgetnya dan tidak bisa royal lagi membeli buku,
wkwk.
Setelah melihat Jakbookfest dan Jakbook, saya pun mampir ke
beberapa kios buku yang ada di sana. Model-model kios buku di sini itu seperti
kios buku di Blok M, Senen, atau Taman Pintar Jogja. Kira-kira yang semacam
itulah. Malah kalau nggak salah, saya pernah membaca artikel atau status di
medsos yang bilang kalau beberapa penjual di Pasar Kenari ini pindahan dari
Senen.
Saat melihat-lihat kios tersebut, saya baru sadar kalau saya
sudah lamaaa sekali tidak bertandang ke kios-kios buku seperti ini. Kios-kios
yang menyediakan koleksi buku lama dari berbagai tema dan genre. Waktu kuliah
sih sering banget, selain di pinggiran daerah kampus banyak toko seperti ini,
dulu saya juga rajin datang ke pameran buku di Senayan.
Dulu pameran buku di Senayan itu masih ada stand-stand yang
isinya buku-buku lama seperti ini, lho. Entah sejak pindah ke JCC dan berganti nama jadi International Indonesian Book Fair (atau memang itu acara yang berbeda),
sepertinya saya jarang melihat kios buku seperti ini di stand acara tersebut.
entah saya yang terlewat atau memang nggak ada.
Dari kegiatan melihat-lihat itulah saya tidak kuasa menahan diri untuk
membeli empat buku bekas, yaitu Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, Gadis
Paling Badung di Sekolah, Sekali Lagi si Paling Badung, dan Ronya Anak
Penyamun.
Kebetulan sekali, setelah membaca buku keduanya, Harry Potter and The Chamber of Secret, saya belum melanjutkan ke seri selanjutnya
karena memang belum punya, tetapi nggak terpikir untuk mencari dan membelinya.
Malah kepikiran untuk longkap saja ke buku empat yang sudah saya punya.
Ternyata saat ke Pasar Kenari, saya malah mendapatkan buku ketiga. What a
serendipity!
kurang buku 1 dan 6 |
Kalau buku Astrid Lindgren itu, sejak mata saya pertama kali
lihat, saya langsung tahu bahwa saya akan membawa pulang buku itu. susah
banget, lho, cari buku-buku Astrid Lindgren terbitan lama. apalagi GPU juga
belum ada tanda-tanda menerbitkan ulang buku-buku beliau dan karya klasik anak
lainnya, seperti Edith Nesbit, Edith Unnerstad, dll. Paling yang sering dicetak
ulang ya Enid Blyton.
Sebenarnya seri Si Badung ada versi terbarunya dan saya sudah
berniat untuk membeli, tetapi masih menjadi wishlist dan belum terlaksana
sampai sekarang. Nah, pas melihat seri si Badung versi tahun 1983, saya
kepikiran kenapa nggak sekalian koleksi seri yang jadulnya saja. Sepertinya
lebih menarik, hehehe. Sayang, masih kurang satu judul lagi, nih, Si Badung
Jadi Pengawas. Mudah-mudahan berjodoh dengan buku itu yang terbitan tahun 1983.
Biar pas koleksinya.
Apakah setelah ini ingin beralih profesi jadi kolektor buku
jadul? Entahlah. Akan tetapi, saya merasakan sesuatu yang menyenangkan saat
melihat, menemukan, tawar menawar, dan akhirnya membawa pulang buku-buku jadul
tersebut. perasaan itu berbeda dengan membeli buku baru yang masih bersegel dan
wangi di toko buku biasa.
Dulu waktu kuliah, saya cukup sering beli buku-buku bekas
seperti ini karena bagi saya, lebih baik beli dan baca buku bekas daripada
buku bajakan. Selain itu, ada perasaan yang aneh setiap kali membuka halaman
buku bekas. Setiap kali membuka buku bekas, saya membayangkan, siapa pemilik buku ini dulu, apa yang dia
rasakan saat membaca buku ini, apa yang membuatnya melepaskan koleksinya, dan
saya senang karena akhirnya si buku mendapatkan rumah baru lagi, yaitu rumah
saya! Sungguh, pemikiran yang melankolis bukan?
satu-satunya foto yang saya ambil di Jakbook |
Balik lagi ke Pasar Kenari, walaupun masih agak sepi dan tempatnya
nggak terlihat bookish banget, tetapi tempat ini bisa jadi salah satu tujuan
wisata buku di Jakarta. Selain sejuk dan ber-AC, di sana juga ada kafe, ada
minimarket, ada eskalator (ini penting karena letaknya di lantai tiga), jadi
nggak usah ragu untuk jalan-jalan ke sana dan bercengkrama dengan para penjual
buku di kios mereka. Ah, dan tentu saja, memborong buku-buku yang dijual, baik
itu buku lama maupun buku baru.
Selamat berjalan-jalan dan berbelanja!
PS; Maaf tidak mencantumkan foto Pasar Kenari sama sekali
karena kamera ponsel saya yang tidak terlalu canggih dan saya juga agak malas
foto-foto, hehehe. Bisa dicari di Google lah ya….
Komentar
Posting Komentar