Resensi Buku: The Woman in Black


Penulis: Susan Hill
Penerjemah: Reinitha Lesmana
Penyunting: Dyah Agustine
Penerbit: Qanita
Tahun Terbit: Cetakan 1, Mei 2016
Halaman: 228
ISBN: 978-602-402-026-2


Ketika Arthur Kipps, pengacara muda, ditugaskan untuk menghadiri pemakaman seorang klien di kota kecil Crythin Gifford, dia menganggapnya sebagai batu pijakan untuk naik jabatan. Sang klien, Nyonya Drablow, tinggal sendiri di Eel Marsh House yang dikepung rawa-rawa berkabut. Rumah besar dan kuno ini hanya dapat didatangi ketika air sedang surut.

Ternyata tak ada warga Crything Gifford yang sudi berurusan dengna Nyonya Drablow maupun Eel Marsh House. Mereka bilang tempat itu dikutuk, sering terdengar lolongan mengenaskan dari balik kabut. Kipps menguatkan diri dan enkad bermalam di Eel Marsh House, meski banyak orang mencegahnya. 

Di rumah angker itu, Kipps bertemu dengan sesosok wanita bergaun hitam. Sosok arwah legenda yang penuh dendam dan kebencian yang selalu ingin memakan korban. Dan kini dia mengejar Kipps. Siapakah sebenarnya wanita bergaun hitam itu?

My Review

Setelah membaca The Legend of Sleepy Hollow, saya pun beralih ke The Woman in Black. Kedua buku ini masih termasuk seri horror klasik terbitan Qanita.

Seperti biasa, bagian awal cerita The Woman in Black tidak langsung menuju ke misteri hantu wanita bergaun hitam, tetapi penggambaran kehidupan Arthur Kipps di masa tua, bersama istri dan anak-anak tirinya yang sedang merayakan malam Natal sambil bercerita tentang kisah hantu. 

Setiap orang harus menceritakan kisah hantu, yang tentu saja sudah dibumbui dengan tambahan di sana-sini. Saat Arthur diminta untuk menceritakan kisah hantunya, karena seperti yang anak tirinya bilang, setiap orang pasti memiliki kisah tentang hantu, paling tidak satu, Arthur malah gusar dan pergi meninggalkan rumah.

Arthur Kipps bukan tidak memiliki kisah hantu. Hanya saja, satu-satunya kisah hantu yang dia miliki adalah kisah yang nyata, tanpa tambahan apa-apa, yang dia alami sendiri dan mengubah pribadi serta hidupnya. Yaitu, kisah pertemuannya dengan wanita bergaun hitam.

Baru, deh, kisah beralih ke masa lalu Arthur Kipps seperti yang dijelaskan di sinopsis. 
Untuk sebuah kisah horror, ini lumayan menyeramkan bagi saya. pertemuan Arthur Kipps dengan wanita bergaun hitam yang ternyata hantu cukup bikin merinding. Apalagi saat Arthur menginap di rumah Nyonya Drablow seorang diri.

Saya agak heran, sih, dengan Arthur. Kalau memang ingin menyortir surat-surat Nyonya Drablow, kenapa dia nggak rumah Eel Marsh House siang-sian, ambil semua surat-surat itu, masukkan ke koper atau tas besar, lalu melakukan penyortiran di penginapannya. Kenapa malah mengambil risiko ketemu hantu di rumah aneh tersebut?

Ya, tetapi kalau Arthur nggak menginap di rumah Nyonya Drablow, kisah hantu ini tidak akan terjadi. Wkwkwk. Sosok wanita bergaun hitam ini juga bikin saya penasaran. Siapa sih dia sebenarnya, karena kalau dari cerita, jelas sosok hantu ini bukan hantu Nyonya Drablow yang baru meninggal.

Dan bagian yang paling menyesakkan adalah bagian terakhir. Saat tugas Arthur Kipps mengurus urusan Nyonya Drablow telah selesai. Memang, sih, ketika awal membaca buku, saya penasaran, dengan Esme dan Stella. Esme adalah istri Arthur, sedangkan Stella adalah tunangannya. Kalau Arthur mengalami hidup bahagia selama-lamanya, kemungkinan besar dia akan terus bersama Stella, tetapi kenapa sama Esme? Nah, bagian akhir yang menyesakkan itulah saya mendapatkan jawabannya.

Aargh, KZL.

Oiya, buku ini diterbitkan pertama kali di UK sana tahun 1983. Sudah tergolong modern sebenarnya. Akan tetapi, saat membaca cerita ini, nuansanya hampir sama seperti saat saya membaca Wuthering Heigths

Saya berharap kisah hidup si wanita bergaun hitam ini disampaikan secara langsung, dalam bentuk potongan kisah atau semacam itu, jadi makin terasa misterius dan menegangkan. Bukan hanya dari cerita Arthur Kipps saat membaca surat-surat Nyonya Drablow. 

Yah, walau bagaimanapun, menurut saya ini cerita yang bagus dan seru. Seperti disampaikan di halaman pertama buku ini, “Memelihara dendam, amarah, dan kebencian, hanya akan meracuni jiwa,” isi buku ini menggambarkan bagaimana efek dari dendam, amarah, dan kebencian tersebut.



Komentar

  1. Hmm, kayaknya pernah deh nonton film yg jalan ceritanya kayak buku ini. Ada kabut, jalan setapak, rawa2, rumah tua sama nyortir surat. Setting filmnya tempoe doeloe (belum modern)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, sudah difilmkan, yang main Daniel Radcliffe (tercantum di buku). Maksudnya, setting cerita berarti sudah abad 20 (mungkin sekitar tahun 1920-1930an) karena sudah ada lampu, tapi nuansa ceritanya mirip2 abad 19. Kira-kira seperti itu :)

      Hapus

Posting Komentar