Resensi Buku: Burial Rites

Penulis: Hannah Kent
Penerjemah: Tanti Lesmana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Jakarta 2014
Halaman: 416
ISBN: 978-602-03-0906-4


Tahun 1829, di sebuah kota kecil di Islandia Utara, Agnes Magnúsdóttir menunggu pelaksanaan hukuman mati atas dirinya. Karena tak ada penjara untuk menampungnya, Agnes ditempatkan di rumah keluarga Petugas Wilayah Jón Jónsson. 

Merasa tak nyaman ada pembunuh di tengah mereka, keluarga itu memperlakukan Agnes dengan dingin. Yang mau berusaha memahaminya hanya Asiten Pendeta Thorvadur ‘Tóti’ Jónsson yang ditugaskan untuk mempersiapkan Agnes menjemput maut.

Sejak kecil, Agnes hidup dari belas kasihan orang lain dan bekerja berpindah-pindah sebagai pelayan. Kecerdasannya, cara bicaranya yang dianggap asing, dan pengetahuannya tentang kisah-kisah dari buku, membuat orang-prang menjauhinya; nyaris tak seorang pun tahu seperti apa dia sesungguhnya.
Agnes jatuh cinta pada Natan Ketilsson, orang pertama yang melihat dia sebagaimana adanya, dan dia pun pindah ke pertanian Natan di tepi lau, tempat sunyi yang hanya dihuni segelintir orang. 

Namun, impiannya akan kehidupan yang lebih baik musnah. Natan Ketilsson tewas dibunuh dan Agnes menjadi salah satu tertuduhnya.

Sambil menunggu ajal, Agnes emnjalani hidup di tengah keluarga Jonsson, membantu pekerjaan sehari-hari dan meringankan beban mereka. Lambat laun sikap keluarga Jonsson mulai mencair. Mereka ikut mendengarkan ketika Agnes menuturkan kisah hidupnya kepada Toti.

Hari-hari bergulir tanpa terasa dan tanggal pelaksanaan hukuman mati semakin dekat….

My Review

Ini pertama kali saya membaca novel dengan latar Islandia tahun 1800an. Seperti yang telah diceritakan di post Book Haul, awalnya saya tidak tahu apa-apa tentang Burial Rites. Bahkan, saya tidak mengerti apa maksud Ritus-Ritus Kematian. Dengan hanya berbekal review Goodreads yang banyak memberi bintang 4 dan 5 pada novel ini, saya pun membelinya.

ri·tus n tata cara dl upacara keagamaan

Ternyata saya sangat menyukai kisah ini! Kisah tentang hari-hari terakhir kehidupan sebelum hukuman mati untuknya berlangsung. Burial Rites diceritakan dari dua sudut pandang, sudut pandang orang pertama dari Agnes dan sudut pandang orang ketiga serba tahu.

Cerita diawali dengan prolog oleh Agnes, lalu surat-surat mengenai proses hukuman Agnes. Dari tanggal di surat dapat terlihat tahun saat cerita ini terjadi dan pembaca mulai mendapat gambaran tentang apa yang terjadi. 

Dari kisah Burial Rites saya mendapat cukup banyak wawasan yang menarik tentang masyarakat Islandia, khususnya Islandia Utara. Daerah dengan bentangan alam yang luas, cuaca dingin, serta jauh dari keramaian atau pusat kota ternyata memiliki pengaruh terhadap gaya hidup dan pemikiran masyarakat yang tinggal di situ.

Penduduk Islandia pada saat itu banyak berprofesi sebagai peternak. Orang-orang kaya memiliki peternakan domba dan memperkerjakan para pelayan, baik lelaki maupun perempuan, untuk melakukan pekerjaan kasar, seperti membuat jerami, menggembala, memotong, dan mengolah domba, dan lain sebagainya. Mereka juga menjahit baju dan membuat sebagian besar perkakas rumah tangga dengan tangan sendiri. Beberapa di antaranya menggunakan anggota tubuh domba yang tidak dimakan.

Kehidupan Agnes sebelum mendapat hukuman mati diceritakan pelan-pelan saat Agnes bertemu dengan Pendeta Tóti. Agnes menceritakan masa kecilnya, yang ditelantarkan oleh ibunya sendiri, dan telah bekerja menjadi pelayan sejak saat itu. Kehidupan Agnes berkisar dari satu peternakan ke peternakan lain, tentu saja tetap menjadi pelayan.

Agnes termasuk perempuan cekatan dan pandai mengerjakan tugasnya. Selain itu, dia juga suka membaca dan dianggap pintar oleh orang-orang di sekitarnya. Masalahnya, perempuan pintar saat itu di daerah itu memiliki konotasi negatif. Kebanyakan orang tidak suka dengan perempuan pintar yang suka membaca dan tidak banyak omong. Karena hal itulah, Agnes menjadi tersangka utama kasus pembunuhan Natan Ketilsson dan Petur Jonsson. Karena dia pintar, jadi dia yang paling mungkin memiliki rencana pembunuhan.

Kisah Agnes terus berlanjut setiap kali Pendeta Tóti datang. Tentu saja diselingi dengan kisah saat Agnes tinggal di rumah Jón Jónsson, seorang petugas wilayah yang kebagian jatah menampung Agnes sebelum dia dihukum mati. Agnes bercerita tentang pertemuannya dengan Natan Ketilsson sampai dia berada pada peristiwa mengenaskan tersebut.

Sepanjang cerita, saya sungguh sangat berharap Agnes bukanlah pembunuh Natan. Karena memang dari cerita Agnes juga kelakuan dia selama di rumah Jón Jónsson, rasanya tidak mungkin orang seperti Agnes membunuh seseorang.

Yang paling saya suka dari cerita ini adalah bagaimana penulis mendeskripsikan dengan detail kondisi dan situasi kehidupan dan daerah yang menjadi latar cerita. Beneran deh, rasanya selama membaca buku ini seperti masuk kehidupan yang benar-benar jadul dan terbelakang banget dan sedikit jorok. Euhh…. Deskripsi penulis saat para pelayan mengolah domba, membuat makanan, dan lain sebagainya malah membuat saya meringis geli. 

Selain itu, penulis juga dengan piawai merangkai kisah hidup Agnes sehingga pembaca seperti saya penasaran, ini beneran nggak sih, Agnes yang bunuh? Rasanya kok mustahil. Rasa penasaran itu terus berlanjut sampai Agnes bercerita tentang peristiwa pembunuhan tersebut. Dan setelah sampai di situ pun, saya masih penasaran apakah Agnes benar-benar akan dihukum mati atau tidak.

Dari cerita Burial Rites juga tergambar bahwa kepercayaan dan agama termasuk ritual-ritualnya, masih mengakar pada masyarakat pada zaman tersebut. Namun, secara kontradiksi, perilaku seks bebas juga tumbuh subur sebagai suatu rahasia umum. 

Masyarakat pada zaman itu bahkan menganggap wajar jika seorang perempuan yang telah bersuami tidur bersama lelaki lain lalu melahirkan dan membesarkan anaknya dengan nama belakang si lelaki lain itu. Makanya saya sempat heran dengan penjelasan di awal buku tentang nama belakang di daerah Islandia. 

Jadi, orang-orang Islandia biasa memakai nama bapak mereka sebagai nama belakang dengan tambahan –dottir untuk anak perempuan dan –son untuk anak lelaki. Misalnya, Agnes Magnúsdottir berarti Agnes anak perempuan Magnús. Dan di bagian penjelasan tersebut menyatakan, “Karena penggunaan sistem ini, para anggota sedarah dalam keluarga Islandia bisa saja mempunyai nama belakang berbeda-beda.”

Saya sempat bingung, “Lho, bukannya nama belakang bapak wajar ya dipakai sampai sekarang? Buktinya, orang-orang Barat juga pakai. Tetapi, kok, satu keluarga bisa beda nama belakang? Jika maksudnya satu keluarga besar, sepupu dan semacamnya, ya wajar kalau nama belakangnya beda. Tetapi, kalau masih satu keluarga inti, kenapa bisa beda?”

Saya mendapatkan jawabannya di dalam cerita. Ya, karena ibunya ‘main’ sama banyak lelaki. Ckckck.

Selama saya membaca novel Burial Rites, dengan keahlian penulis dalam menyajikan ceritanya, saya merasa buku ini bagus sekali jika diangkat ke dalam layar lebar. Dan ketika saya mencari tahu tentang novel ini di Google, ada artikel yang menyebutkan cerita ini memang akan diangkat menjadi film. Entah kabar itu benar atau tidak, yang jelas saya berharap novel ini benar-benar diangkat ke layar lebar.

Satu hal lagi yang perlu disampaikan, di bagian buku penulis menyatakan bahwa Agnes Magnúsdottir dan Natan Ketilsson adalah tokoh nyata. Peristiwa pembunuhan dan hukuman mati itu juga nyata. Meskipun begitu, novel Burial Rites ini tetap fiksi. 

Dalam novel ini, penulis berusaha mengeksplor kehidupan Agnes Magnúsdottir sebelum hari-hari kematiannya. Jika memasukkan kata Agnes Magnúsdottir ke dalam mesin pencari, akan muncul banyak artikel yang membahas hal tersebut.

Seperti buku Salt to the Sea, saya sangat menyukai novel historical fiction yang di bagian akhir, penulis mencantumkan cerita atau kesan saat proses menulis novel tersebut dan riset yang dilakukan. Hannah Kent, penulis novel ini juga melakukannya, meskipun ceritanya tak sepanjang Ruta Sepetys. Dan ternyata, Hannah Kent ini ‘murid’ Geraldine Brooks yang menulis People of the Book. Pantas saja novel debutnya keren!





Komentar

  1. Historical Fiction belum masuk ke bacaan saya. Masih belum mau mencoba takut nggak related aja sama bayangan benak saya. Tapi lain waktu kayaknya memang harus mencoba biar tahu gimana kesan setelah membacanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, balik lagi ke selera masing-masing, tidak perlu dipaksakan :D

      Hapus

Posting Komentar