Wrap Up Januari-Maret 2020



Assalamualaikum, apa kabar?

Dengan segala yang terjadi sekarang, rasanya susah untuk bilang kabar saya baik-baik saja, hahaha. 

Selama tiga bulan penuh, saya nggak posting resensi buku apa pun. Kalau nggak ada cadangan tulisan (tentang tips banyak baca dan reading slump), mungkin postingan terakhir saya di blog ini adalah post pada awal Januari tentang TBR dan wishlist tahun 2020 (yang itu pun sebenarnya dibikin dari bulan Desember 2019).Oleh karena itu, pada akhir bulan Maret ini, saya akan meringkas apa-apa yang terjadi di dunia perbukuan saya selama tiga bulan terakhir dan kenapa bisa selama itu saya nggak menulis resensi. 

I warned you, this is gonna be a long post, hehehe.

Pertama, buku yang dibaca selama tiga bulan (Januari-Februari-Maret). Ditulis berdasarkan urutan membaca.

Januari

  1. Polaris Fukuoka, Sinta Yudisia
  2. Reem, Sinta Yudisia
  3. Kemolekan Landak, Muriel Barbery
  4. Sayap-Sayap Kecil, Andry Setiawan
  5. Air Mata Kopi, Gol A. Gong
  6. Perempuan Patah Hati yang Menemukan Cinta Kembali Melalui Mimpi, Eka Kurniawan
  7. Night Talks Before We Go to Sleep, @helobagas
  8. Museum Masa Kecil, Avianti Achmad
  9. Tukar Takdir, Valiant Budi
  10. All the Bright Places, Jennifer Niven
  11. Irine Shilling, Ginger Elyse Shelley
  12. One Hundred Names, Cecelia Ahern
  13. Love, Hate, and Hocus-Pocus, Karla M. Nashar
  14. Love, Curse, and Hocus-Pocus, Karla M. Nashar
  15. Last Forever, Windry Ramadhina
  16. Bicara Tubuh, Ucita Pohan dan Felix
  17. After Rain, Anggun Prameswari
  18. Love Letters to the Dead, Ava Dellaira
  19. Jane si Kutu Loncat, Primadonna Angela
  20. Recalling the Memory, Sheva
  21. Kuajak Kau ke Hutan dan Tersesat Berdua, Boy Candra
  22. Muhammad; Lelaki Penggenggam Hujan, Tasaro GK (baca ulang)

Februari

  1. Hope, Prisca Primasari
  2. Muhammad; Para Pengeja Hujan, Tasaro GK (baca ulang)
  3. The Visual Art of Love, Ary Nilandari
  4. Love and Misadventures, Lang Leav
  5. Love Her Wild, Atticus
  6. Caramellove Recipe, Lia Nurida
  7. Your Body is an Ocean, Nikita Gill
  8. This Princess Save Herself in this One, Amanda Lovelace
  9. Love, Spelled in Poetry, Helena Natasha


Maret

  1. Mr. Penumbra’s 24 Hours Bookstore, Robin Sloan
  2. Jurnal Jo, Ken Terate
  3. Jurnal Jo; Online, Ken Terate
  4. Jurnal Jo; Episode Cinta
  5. Komik Persatuan Ibu-Ibu, Puty Puar

Kedua, buku yang dibeli atau didapatkan selama tiga bulan

Januari: One Hundred Names, Cecelia Ahern & Cerita Cinta tanpa Cinta (Kumcer), Raya Indira, dkk.

Februari: Caramellove Recipe, Lia Nurida & Big Brother Complex, Primadonna Angela
Empat buku tersebut beli di obralan Gramedia CCM


Maret: 

1. Bulan Nararya, Sinta Yudisia,
2. Berdoalah untuk Urusan Apa Pun, M. Fauzil Adhim,
3. Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan, M. Fauzil Adhim.
(Tiga buku ini beli di Islamic Bookfair. Buku pertama di stand Indiva, buku kedua dan ketiga di stand Pro-U Media.)
4. The Geography of Love, Peter Theisen (hadiah dari Mizan, menang kuis, [akhirnya keberuntungan berpihak kepadaku!])
5. Kami Bukan Sarjana Kertas, Kami Bukan Jongos Berdasi, dan Igauan Kita, J.S. Khairen, (penulis dan penerbit Bukune menggratiskan ebooknya di Google Playbook saat Corona mewabah. Terima kasih banyak, Mas!)


Kisah-Kisah Selama Tiga Bulan

Untuk buku yang dibaca selama tiga bulan ini, terlihat jelas penurunan jumlahnya, dari Januari yang sampai 22, bulan Februari dan Maret malah nggak sampai 10. Sebenarnya, saya termasuk orang yang nggak saklek dengan jumlah buku yang dibaca per bulan. Nggak ada keharusan membaca sekian-sekian, tetapi karena pas Januari itu memang banyak waktu luang dan nggak tahu (nggak mood) mau diisi apa, jadi yaudah baca aja.

Nah, pas masuk bulan Februari, Alhamdulillah, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti Storial Writers Bootcamp (cerita lengkapnya bisa dibaca di sini). Otomatis waktu luang yang ada digunakan lebih banyak untuk menulis ketimbang membaca.

Apa lagi pas masuk bulan Maret, mendekati deadline novel yang harus disetorkan ke editor Storial. makin pusinglah saya karena tulisan mandek terus, jadi nggak mood baca buku apa pun. Ditambah lagi, memasuki pertengahan Maret (masih agak awal sih), virus Corona mulai merebak di Indonesia. Yasudah. Makin pusing. Hahaha.

Tentang hiatus menulis resensi, berawal dari laptop yang dipinjam. (sudah pernah disinggung di post bulan Januari). Karena keterusan, akhirnya males mulai menulis resensi dan keasyikan baca. Saat laptop sudah dibalikin pada akhir Januari, sudah mendekati Storial Writers Bootcamp, jadi ‘fokus’ menulis cerita. Februari-Maret jangan ditanya, sudah nggak mood baca buku, apa lagi menulis resensi.

Gara-gara hiatus menulis resensi, saya sempat kepikiran untuk ‘pindah rumah’ alias ganti platform. Saya merasa platform Blogger nggak terlalu asyik di ponsel. Aplikasinya nggak ada mode reading list, cuma bisa posting dan edit tulisan sendiri. Beda dengan aplikasi Wordpress di android yang bisa baca postingan blog yang kita ikuti.

Awalnya, saya berencana bikin blog baru di Wordpress khusus untuk blog buku. Ya, intinya pindahin isi blog ini-lah, sekalian memperbarui resensi-resensi lama yang saya tulis zaman kuliah.

Eh, ternyata saya lupa dengan kustomisasi Wordpress. Padahal, punya blog Wordpress, tapi terakhir kali diutak-atik tampilannya tuh kapan ya, saya lupa, udah lama banget. Sepertinya sejak masih kerja sudah pakai template yang itu, nggak pernah diutak-atik lagi. 

Saya yang pada dasarnya males ngurusin teknis blog, udah males buat nyari-nyari tahu lagi kustomisasi Wordpress atau meluangkan waktu untuk utak-atik lagi. Akhirnya, nggak jadi pindah. Hahaha.

Ya sudahlah, blog buku saya tetap di Blogger saja, pageviewnya juga sudah lumayan banget. Sayang kalau mulai dari awal. (Sebenernya bisa mode transfer tulisan gitu [apa sih istilahnya] pokoknya pageviewnya nggak hilang, tetapi saya kan pakai platform yang gratisan, itu nggak bisa).

Sebagai gantinya, untuk menyegarkan penampilan dan memercikkan semangat untuk ngeblog lagi di sini, saya ganti template dan warna dasar. Yah, karena pakai yang gratisan, jadi template dan semuanya pun pakai yang tersedia aja.

Kenapa, kok, nggak pindah ke yang berbayar? Biar terkesan lebih serius dan mudah diutak-atik serta nggak terpaku dengan template gratisan yang terbatas?

Saya punya alasan sendiri untuk hal itu. Dan sampai sekarang masih berpegang pada alasan itu, jadi sampai sekarang pula dua blog saya masih pakai yang gratisan.


Lanjut, ya…

Saya mau cerita tentang Islamic Bookfair 2020, yang Alhamdulillah banget, diselenggarakan sebelum virus Corona merebak di Indonesia. Nggak kebayang kalau acaranya diadakan saat virus Corona sudah mewabah, bisa jadi dibatalkan, sama dengan berbagai acara lain. Dan saya bakal sedih banget, karena IBF tuh sudah semacam rekreasi buat saya yang jarang jalan-jalan ini.

Ya, sebenarnya IBF tahun ini nggak beda jauh sih dengan tahun sebelumnya atau sebelumnya lagi. Masih di JCC, masih cuma lima hari (dulu waktu di Istora Senayan sampai 10 hari), masih ramai banget pengunjungnya. Namun, IBF tahun ini saya datang sore dan kondisinya nggak sepenuh kalau datang pagi. Mungkin karena rombongan anak sekolah kebanyakan sudah pulang ya sore-sore. 

Di IBF saya cuma beli tiga buku, karena bujet yang disediakan memang nggak banyak dan entah kenapa pas di sana, saya jadi selektif banget milih buku yang mau dibeli. Pertama, karena diskonnya nggak gede-gede amat. Kedua, saya juga mempertimbangkan apakah buku-buku yang saya beli sekarang akan dibaca secepatnya dan akan dimiliki selamanya atau tidak. Kalau jawabannya enggak, ya mending nggak usah beli. 

Sebagai maniak buku obralan, IBF tahun ini miniiiiim banget buku obralan. Hiks. Padahal, alasan terbesar saya ke IBF ya berharap dapet buku dengan diskon besar-besar alias obral. Stand Mizan yang biasanya punya bagian khusus obralan, sekarang nggak ada. Sekalinya ada buku obralan, buku-bukunya nggak seru. Nasib.

Itu aja, sih, cerita dari IBF. Hahaha. Nggak penting banget, ya? Intinya, setelah dari IBF itu seolah tersadarkan kalau harga buku itu beneran mahal, men! Buku-buku baru, ya, maksudnya. Selama ini kan saya golongan yang sabar nunggu buku didiskon, wkwk.

Rencana selanjutnya…



Well, sejauh ini rencana yang ada di pikiran saya setelah bulan Maret berakhir dan tulisan saya kelar, saya mau mencicil menulis resensi buku-buku yang sudah saya baca selama tiga bulan ke belakang. Bahkan, ada yang dari bulan Desember ingin diresensi, tetapi belum juga dieksekusi. 

Selain itu, ya lanjut baca lagi, tetapi nggak ditarget harus baca berapa buku. Santuy ajalah, persoalan yang lain sudah berat. Jadikan aktivitas membaca sebagai sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan, hehehe.

Bagaimana denganmu? Apa rencana untuk bulan April di tengah virus Corona yang (mungkin) masih (akan) mewabah di negara kita tercinta?

Komentar

  1. Untuk jumlah buku yang dibaca dan mencapai 36 buku dalam kurun tiga bulan, terbilang banyak banget lho. Saya saja hanya lima buku. OMG!!!

    Tapi Kak Ratih, saya penasaran sama proses menulis resensi buku yang sudah dibaca tapi udah lama selesainya. Soalnya saya suka nggak bisa menulis dengan teknik begitu. Pasti milih baca ulang untuk buku yang akan diresensi. Bagi tipsnya dong , Kak! Hehehe

    BalasHapus
  2. Untuk menulis resensi buku yang sudah lama dibaca, mesti lihat-lihat lagi bukunya. tetapi nggak harus dibaca ulang dari awal sampai akhir secara lengkap. biasanya pas baca bagian awal aja udah keinget bagian mana yang menarik dari tersebut dan sebagainya. dan pas baca kalau bisa bikin catatan (coret-coretan di notes) tentang bagian yang menarik dari cerita tersebut. Jadi, menulis resensinya berdasarkan catatan itu. Walaupun memang lebih baik menulis resensi langsung setelah tamat membaca, biar masih fresh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sejauh ini saya masih mengandalkan 'selesai baca, langsung resensi'. Soalnya belum mempraktikkan menulis notes. Selama ini baru menggunakan sign here untuk menunjukkan quote menarik atau hal penting yang di bahas di buku. Kelemahan cara ini kadang saya beneran lupa kenapa saya menandai halaman tersebut. Hahaha

      Hapus

Posting Komentar